KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang
Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak
untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta
hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul ”MAKNYONG”.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak,
karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Meskipun penulis berharap isi dari
makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir
kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Pekanbaru, September 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
BAB II
PEMBAHASAN
Teater
Tradisional Makyong
BAB III
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia untuk belajar. Salah satu unsur kebudayaan
yaitu kesenian. Kesenian atau seni merupakan unsur kebudayaan yang universal.
Seni merupakan karya seni yang bermutu dilihat dari keindahan.
Indonesia mempunyai berbagai suku bangsa, dan yang tentunya
mempunyai kesenian budaya yang beragam bentuknya. Salah satunya suku Riau yang banyak mempunyai kesenian
daerah yang bermacam-macam. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya kesenian daerah
yang masih bertahan sampai sekarang.
Kesenian tradisional, khususnya seni pertunjukan rakyat
tradisional yaitu Makyong
yang dimiliki, hidup dan berkembang dalam masyarakat dan mempunyai fungsi
penting. Seni pertunjukan Makyong. Walupun seni pertunjukan lebih menonjolkan dalam segi
hiburannya. Tetapi, sebenarnya mempunyai banyak nilai dan fungsi bagi
masyarakat.
Salah satu seni pertunjukan yang masih melekat oleh
masyarakat Riau
yaitu makyong. Makyong sangat dinikmati masyarakat dari
zaman dulu sampai sekarang. Karena nilai seninya makyong perlu dikembangkan dan dilestarikan
sebagai salah satu kebudayaan Riau. Seni pertunjukan Makyong juga sering digunakan untuk pertunjukan dalam pementasan
seni budaya Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teater
Tradisional Makyong
Mak yong adalah salah satu jenis kesenian Melayu yang
menggabungkan unsur-unsur ritual, tari, nyanyi, dan musik dalam pementasannya.
Dalam pertunjukkannya, Mak Yong mempertemukan antara pemain dan penonton.
Dengan perkataan lain, pementasannya mempertemukan pemain dengan penonton dalam
ruang, waktu, dan tempat yang sama. Kesenian ini berasal dari daerah, yang dari
segi budaya, termasuk rumpun Melayu, yaitu daerah Nara Yala, Patani pada
sekitar abad ke-17. Pudentia (2000), mengutip pendapat Sheppard, mengatakan
bahwa Mak Yong kemudian menyebar ke daerah Kelantan (sekitar 200 tahun yang
lalu), tetapi tanpa memakai topeng seperti di tempat asalnya. Dari Kelantan ini
Mak Yong kemudian menyebar ke Indonesia, yaitu ke daerah Bintan dan Batam
melalui Tanjung Kurau (Singapura).
Mak Yong di Indonesia mengalami kejayaannya pada masa
keemasan kesultanan Riau-Lingga dan pada masa sekitar tahun 1950-an. Pada masa
kejayaannya ini Mak Yong pernah dianggap sebagai kesenian istana. Akan tetapi,
dewasa ini kesenian tersebut tidak hanya menjadi konsumsi kelompok tertentu saja,
melainkan sudah menjadi pertunjukkan yang dapat dinikmati oleh masyarakat umum.
Di Kepulaun Riau Mak Yong menyebar ke berbagai tempat
seperti: Mantang Arang dan Kijang (Bintan Timur), Rempang/Sembulang, Dompak,
Kasu, Pulau Buluh, dan Cate (daerah pinggiran Pulau Batam). Untuk yang terakhir
ini, mungkin saja merupakan persebaran dari Mak Yong yang berada di Batam.
Nyanyian yang sering dikumandangkan dalam pementasan antara
lain: Bertabuh, Bertabik, Memanggil Awang, Gedobak, Gaduh Tuan Susah Mana,
Selendang Awang, Kelantan, Ikan Kekek, Alip Dunia, Anak Tudung, Oi, Selendang Mayang, Senandung, Timang
Burung, Timang Anak, Bong Oi, dan lagu-lagu joged seperti: Dondang Sayang,
Bertari Rawai, Melemang, Serampang Pantai, dan Tanjung Keling Tepi Laut.
Tari-tariannya meliputi tari: Betabik (pembukaan), Timang
Welo Berjalan Jauh, Gembira, Perang, Hiburan, dan Cik Milik (tarian penutup).
Sedangkan, ceritera yang dimainkan adalah: Tuan Puteri Ratna Mas, Nenek Gajah
dan Daru, Gondang, Wak Peran Hutan, Gunung Intan, Dewa Muda, Raja Dua Serupa,
Raja Muda Lembek, Gading Bertimbang, Megat Sakti, Mugat Muda, Megat Kiwi, Raja
Besar, Wak Perambun, Raja Lak Kenarung, Tumenggung Era Wangsa, Puteri Mayang
Emas, Raja Bijaksana, Selindung Bulan, serta ceritera-ceritera dari Mahabarata
dan Ramayana.
Yang menarik sehubungan dengan keberadaan Mak Yong adalah
perjalanan sebuah pertunjukkan tradisi lisan di dalam masyarakatnya yang masih
mengandalkan kelisanan dan perjalanannya di luar masyarakat yang sudah memasuki
dunia keberaksaraan. Secara umum tradisi lisan sering diartikan sebagai sastra
rakyat dan tradisi tulis sebagai sastra istana. Tidaklah relevan disini
mengartikan kelompok istana dengan tradisi tulisan dan sebaliknya. Justeru yang
menarik adalah bagaimana sebuah karya yang tadinya dikatakan sebagai berasal
dari istana lama-kelamaan menjadi tradisi rakyat, yang tidak hanya berfungsi
sebagai pengesah adat-istiadat, tetapi juga kritik atau perlawanan terhadap
istana, walaupun tidak sekeras seperti yang terjadi di daerah lain. Sikap dan
perilaku ini antara lain tercermin dari salah satu adegan Dewa Muda,
sebagaimana yang dilukiskan oleh Pudentia (2000: 2--4). Dikatakan oleh Pudentia
bahwa ketika dalam satu adegan Raja datang ketempat Awang, Awang tidak mau
keluar dari pondoknya. Ia bahkan, diceritakan, tidak mengenali rajanya sampai
kemudian ia dipaksa oleh raja untuk mengenalinya. Adegan ini menggambarkan
betapa raja begitu jauh dari rakyatnya, sampai orang terdekatnya pun tidak
dapat mengenalinya.
Dalam ceritera Wak Perambun misalnya, perlawanan terhadap
raja juga tampak. Dalam hal ini, tercermin ketika Wak Perambun dan pemburu
istana diperintah oleh rajanya untuk mencari kijang sulung, dari turunan yang
sulung, dan berada di hutan yang sulung pula, untuk memenuhi keinginan permaisuri
yang sedang hamil. Wak Perambun tidak berhasil melaksanakan tugas itu, tetapi
ia menemukan seorang puteri dari kayangan. Puteri tersebut bersedia menjadi
anak angkat Wak Perambun. Oleh karena tidak berhasil mendapatkan kijang, maka
Wak Perambun tidak berani menghadap raja. Akan tetapi, raja yang mendengar
bahwa Wak Perambun menemukan puteri cantik di hutan meminta agar Wak Perambun
menyerahkannya untuk kemudian dijadikan sebagai istri. Wak Perambun tidak
bersedia menyerahkannya. Justeru Wak Perambun menyerahkan baju pelayang agar
puteri tersebut dapat kembali ke ke kayangan.
Perlawanan yang dilakukan oleh Wak Perambun adalah perlawan
khas tokoh-tokoh Melayu yang tidak mau melakukan serangan atau perlawan secara
terbuka. Mereka menghindari pertikaian langsung atau menghindari sumber
pertikaian. Perlawanan di atas bukan perlawanan dalam arti penentangan pada
raja, tetapi berani meminta sesuatu yang dipikirkannya menjadi haknya, yaitu
bekal. Syarat berupa bekal (uang) ini ditujukan kepada isterinya yang harus
ditinggalkan karena harus memenuhi perintah raja. Ketika mendapat perintah, Wak
Perambun berkomentar bahwa raja sesungguhnya hanya mencari-cari alasan saja
untuk membunuhnya, seperti yang tampak dalam dialog berikut yang ditujukan
kepada diri sendiri:
"…Kalau begitu, memang raje ini hendak membunuh saye. Begitu saje tentu payah, jadi disuruh saye pergi berburu mencari rusa putih bunting sulung…."
Meskipun tahu bahwa tugasnya tidak mungkin dilaksanakan dan ia memberi komentar kritis kepada titah raja, ia tetap pergi ke hutan karena ia sadar bahwa statusnya tidak memungkinkannya untuk menolak perintah raja. Kemudian, karena mekanisme perlawanan terhadap perintah yang muskil dilaksanakan ini sudah terbentuk, maka ia pun tidak menyerahkan hasil "buruannya" yang lain, yang didapatnya secara kebetulan di hutan.
Adegan-adegan di atas adalah sekedar menggambarkan bahwa
melalui kesenian yang disebut sebagai Mak Yong tidak hanya sekedar pengesahan
nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya, tetapi juga sekaligus
kritik terhadap "penguasa". Namun demikian, secara keseluruhan pesan
yang ingin disampaikan melalui kesenian ini adalah bahwa kebaikan akan selalu
menang melawan kebatilan.
Tokoh-tokoh dalam seni pertunjukkan ini, selain seperti yang
telah disebutkan diatas, adalah: Pak Yong, Mak Yong, Puteri, Awang, Inang
Pengasuh, Inang Tua, Hulubalang, dan Mamak-mamak. Sedangkan, bahasa yang
digunakan adalah bahasa sehari-hari Melayu Riau-Kepulauan yang dibumbui dengan
penampilan yang jenaka. Berikut ini adalah dialog antara anak, ayah, dan inang
dalam salah satu adegan pementasan Mak Yong.
Anak:
"Ayah, ayah, sebab anakna datang menghadap ayah, anakda hendak bermain ke
taman bunge".
Ayah:
"Tak boleh nak, taman bunge-bange banyak duri, banyak ualar…. Inang!"
Inang:
" Ya diri buk".
Ayah:
" Antar ia balik!"
Inang:
"Balik, balik, balik, nik balik… Mari balik!"
Anak:
"Inang, Inang…. Cobalah Inang ajarkan saye, Inang!. Bolehkah anak pergi
ayah,
saye pegi bukan lame, pegi…petang baliklah!"
Jumlah pemain Mak Yong sekurang-kurangnya 15 orang. Setiap
orang terkadang memerankan peran rangkap dengan menukar topeng. Para pemain
terdiri atas tokoh utama, seperti Pak Yong, Mak Yong, pangeran yang sering
dipanggil dengan istilah Cik Wang, Mak Yong yang sering memerankan sebagai
permaisuri yang juga sering dipanggil dengn istilah Mak Senik, Awang pengasuh,
dan beberapa orang yang berperan sebagai peran pembantu, seperti: Inang
Perempuan Bertopeng, Mamak Bertopeng, Pembatak Bertopeng, dan dayang-dayang.
Selebihnya, adalah pemain musik.
Jika pada Bangsawan tidak ada orang yang bertugas sebagai
sutradara, maka pada kesenian Mak Yong ada sutradaranya yang disebut sebagai
Ketua Panjak atau Bomo. Pertunjukkannya membutuhkan panggung terbuka dalam
bentuk "tapal kuda", dengan ukuran 8x8 meter, beratap, dan bertiang 6
buah sebagai penopang atap tersebut.
Seperangkat peralatan musiknya terdiri atas: gendang
pengibu, gendang penganak, gedombak (dua buah), geduk, gong atau ketawak (dua
buah, satu betina dan satunya jantan), mong (dua buah, satu betina dan satunya
jantan), breng-breng, cecrek, rebab, anak ayam, dan biola bambu. Peralatan
tersebut sering disebut dengan "musik kelantan". Sementara itu,
kostum yang digunakan meliputi: baju lengan pendek, celana, kain samping atau
dagang, alas dada atau elau, tanjak, selampai, bengkung, pending, sabuk dua
helai (untuk Pak Yong Tua dan Muda), kebaya panjang, kain sarung, pending tiga
buah (untuk Mak Yong, Puteri, dan dayang-dayang), baju kurung pendek, dan
selendang untuk Mak Inang Pengasuh. Adapun perlengkapan pendukungnya adalah
rotan pemukul atau bilai yang terbuat dari bambu yang dibelah tujuh, parang,
keris, kapak, panah, tongkat kayu, canggai, sembilan kuku palsu, dan beberapa
topeng, yaitu topeng: Nenek Betara Guru, Nenek Betara Siwa, Awang Pengasuh,
Inang Tua, Inang Muda, Wak Perambun, Mamak-mamak, Wak Pakih Jenang, Wak Dukun,
Pembatak, Raja Jin, Peran Hutan, Peran Agung, Apek Kotak, dan beberapa topeng
binatang. Sedangkan, urut-urutan pementasannya adalah sebagi berikut:
(1) upacara tolak bala dengan cara mengasapi
peralatan musik dan perangkat pementasan, (2) upacara semah (buka tanah) atau
buang bahasa dengan menanam ramuan khusus ke tanah. Tujuannya untuk menghindari
gangguan makluk halus,
(3) pementasan dimulai dengan keluarnya Pak
Yong, dan
(4)
pementasan diakhiri dengan tarian Cik Milik. (pepeng)
BAB III
1. Kesimpulan
Kesenian tradisional makyong hanya salah satu dari beberapa kesenian
tradisional yang berada di Riau.
dari beberapa kesenian tersebut makyong
salah satu kesenian yang melekat dalam
kehidupan masyarakat. Makyong adalah suatu bentuk seni pertunjukan
tradisional yang mengangkat seni.
Keberadaan kesenian makyong semakin
meredup dengan adanya globalisasi zaman. Semakin banyaknya kesenian modern yang
ditampilkan lebih menarik di media elektronik maupun pentas seperti konser
musik, film membuat kesenian makyong
dan kesenian lainnya semakin hilang. Oleh
karena itu perlu adanya pelestarian kesenian tradisional. Untuk mengembangkan
kesenian budaya yang ada di Riau.
2. Saran
Karena semakin
menurunnya seni pertunjukan tradisional yang masih dapat bertahan hidup di
masyarakat. Semakin memprihatinkan untuk dilihat. Sehingga perlu adanya
pengetahuan untuk para generasi muda. Pengenalan budaya sejak dini dalam
keluarga sangatlah penting, untuk menambah wawasan dalam pengetahuan tentang
kesenian budaya sendiri. Dan mengembangkan budaya yang ada dalam masyarakat
tetapi tidak lepas dari penyesuaian perkembangan zaman. Mengadakan pementasan
kesenian makyong
yang diadakan setiap beberapa bulan sekali untuk menarik perhatian masyarakat
kembali akan keindahan makyong,
sehingga pengadaannya lebih meriah dan murah. Acara seperti itu dapat
mengembalikan keberadaan makyong.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suparlan,
Parsudi dan S. Boedhisantoso. Masyarakat Melayu dan Kebudayaan. Pekanbaru:
Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 1986.
tak nampak nak baca..
BalasHapustak nampak nak baca..
BalasHapus